Konflik pulau Sipadan dan Ligitan Antara Indonesia dan Malaysia
Ligitan adalah sebuah pulau di negara bagian Sabah, Malaysia. Pulau yang terletak 21 mil (34 km) dari pantai daratan Sabah dan 57,6 mil (93 km) dari pantai pulau Sebatik diujung timur laut pulau Kalimantan/ Borneo. Pulau Ligitan ini luasnya 7,9 Ha. Pulau ini dari sejarahnya merupakan wilayah kesatuan Republik Indonesia dan menjadi sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia.
Pendahuluan…:
Kasus Sipadan dan Ligitan sendiri, bukanlah luka baru dalam hubungan kedua negara. Perundingan penetapan landas kontinen tahun 1969 gagal menetapkan status pemilik kedua pulau tersebut. Indonesia berpendirian, bila garis batas lurus dibuat dari Pulau Sebatik, yang sudah dibagi dua dengan Malaysia, dua pulau itu mestinya masuk wilayah Indonesia. Malaysia berpendapat, garis batas itu hanya sampai Pulau Sebatik, sehingga kedua pulau itu bisa diklaim sebagai wilayah Sabah.
Kronologi:
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda.
Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan itu selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan dalam status ini berarti status kedua pulau tidak boleh ditempati sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
Akhirnya, dengan pertimbangan effectivities. Malaysia dianggap lebih dominan daripada Indonesia dalam mengelola pulau ini dengan baik sehingga pulau ini diserahkan pada Malaysia. Akan tetapi ICJ gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Bukti2 :
1. Dalam sengketa ini Malaysia memberikan bukti-bukti:
· pertama, hak dari kedua pulau tersebut didasarkan pada beberapa transaksi dari Sultan Sulu hingga Inggris dan terakhir Malaysia.
· Kedua, Malaysia mengklaim bahwa Inggris kemudian Malaysia telah melakukan penguasaan damai secara berkesinambungan sejak tahun 1878.
2. Sementara itu, Belanda, kemudian Indonesia, telah lama menelantarkan kedua pulau tersebut. Dalam hukum internasional memang hak atas wilayah dapat diperoleh pihak ketiga apabila wilayah tersebut ditelantarkan untuk kurun waktu tertentu oleh pemilik aslinya. Perolehan wilayah semacam ini disebut prescription.
Wawancara:
Di tengah kesibukannya, Tedjo Edhy menerima kunjungan Wahyu Muryadi, Nugroho Dewanto, Arif A. Kuswardono, dan Gabriel Wahyu Titiyoga dari Tempo pertengahan Ramadan lalu. Perbincangan hangat, diselingi humor, berlangsung di kantornya di Markas Besar TNI Angkatan Laut, Cilangkap, Jakarta Timur
- Belajar dari lepasnya Sipadan-Ligitan, apakah ada keyakinan bahwa Ambalat tidak akan jatuh ke tangan Malaysia?
Saya yakin Ambalat akan aman. Sebetulnya dulu, waktu kasus Sipadan-Ligitan, posisi kita juga kuat. Tapi, karena kita taat pada hukum internasional yang melarang mengunjungi daerah status quo, ketika anggota kita pulang dari sana membawa laporan, malah dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana.
wah sayang sekali ya, lepas! padahal pulaunya demikian indah.. Yah mungkin ke depan ini jadi pelajaran buat Pemerintah, agar lebih memperhatikan pulau2 kecil dan utamakan kesejahteraan penduduknya.