Konflik Indonesia dan Malaysia dalam Perebutan Pulau Sipadan-Ligitan
Konflik sosial sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dikarenakan karena adanya pihak yang tidak dapat terpenuhi kehendaknya, sehingga akhirnya timbullah konflik sosial tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konflik adalah perjuangan manusia untuk mencapai tujuan dan harapannya.
Dan di dalam dunia ini, sudah cukup sering terjadi konflik-konflik antarnegara. Dalam artikel ini, saya akan membahas tentang konflik antara Negara Indonesia dengan Malaysia masalah Pulau Sipadan dan Ligitan.
Berikut ini adalah kronologi latar belakang konflik antara Negara Indonesia dan Malaysia mengenai Pulau Sipadan dan Ligitan :
Persengketaan ini berawal pada tahun 1967 . Baik Indonesia maupun Malaysia memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Pulau Sipadan dan ligitan,secara geografis kedua pulau tsb berada di garis batas Negara Indonesia dengan Malaysia. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.
Dan pada tahun 1969 negara Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Tahun 1991 terjadi tindakan kekerasan ketika Malaysia mengusir semua warga negara Indonesia (dengan menempatkan polisi hutan) dan juga meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto menyetujui untuk menyelesaikan masalah ini melalui Mahkamah Internasional. Pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997, sementara pihak mengkaitkan dengan kesehatan Presiden Soeharto dengan akan dipergunakan fasilitas kesehatan di Malaysia
Pada tahun 1998 masalah ini dibawa ke Mahkamah Internasional di Den Haag untuk diselesaikan. Keputusan Mahkamah Internasional jatuh pada hari Selasa tanggal 17 Desember 2002. Hasilnya Pulau Sipadan dan Ligitan dimenangkan oleh Negara Malaysia dengan 16 hakim dalam voting, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu). Di sisi lain, MI menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891, yang dinilai hanya mengatur perbatasan dari kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 4 menit 10 detik LU ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai Timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil.
Menurut saya, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dan Malaysia ini adalah karena kedua negara sama-sama saling tidak mau mengalah dan lebih mementingkan kepentingan negaranya masing-masing.
Dan selama konflik ini berlangsung sempat terjadi dampaknya berupa kekerasan. Seperti yang telah diceritakan dalam latar belakang kronologi konflik ini yaitu Pada tahun 1991 Malaysia mengusir semua warga negara Indonesia (dengan menempatkan polisi hutan) dan juga meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Konflik ini termasuk bentuk konflik yang bersifat internasional, karena konflik ini terjadi antar dua negara yang berbeda.
Dan solusi untuk menyelesaikan konflik ini sangat tepat yaitu secara konsoliasi dengan melalui Mahkamah Internasional. Dikatakan konsoliasi karena Mahkamah Internasional adalah lembaga-lembaga dipercaya yang mampu memberikan keputusan yang adil. Dengan Mahkamah Internasional sebagai maka konflik antara Indonesia dengan Malaysia ini dapat diselesaikan dengan baik dan secara damai.
Namun ada pelajaran berharga yang dapat dipetik dari hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan ini dari Negara Indonesia. Yaitu sebaiknya dilakukan kebijakan menginventarisir garis batas wilayah sehingga pulau-pulau di negara kita, Indonesia tidak tercecer