konflik
Konflik dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Salah satunya yang paling sering ditemui ialah cara kekerasan. Setiap masalah pasti dapat diselesaikan. Namun kekerasan sudah terlalu melembaga dan telah menjadi penyakit masyarakat walaupun sebenarnya merugikan salah satu pihak.
Indonesia ialah Negara yang kaya. Negara yang kaya akan suku bangsa, agama, budaya, dan masih banyak. Seharusnya kita sebagai bangsa Indonesia bangga akan hal tersebut dan menjadikannya kekayaan dari Indonesia dan bukannya menjadikan konflik internal yang akhirnya direbut oleh Negara lain.
Perbedaan harta kekayaan seperti mobil juga akan menimbulkan konflik di masyarakat. Banyak orang yang lebih memilih untuk memiliki atau dijemput oleh mobil mewah. Hal inilah yang menyebabkan konflik terjadi di masyarakat.
Perbedaan selera minuman maupun makanan menyebabkan konflik di masyarakat mengenai pandangan orang lain terhadap pribadi tersebut. Kebanyakan orang menganggap bahwa minum kopi di pinggir jalan hanyalah orang yang berpendapatan rendah. Sedangkan orang yang minum kopi yang lebih mahal seperti “starbucks” akan dipandang sebagai orang yang berpendapatan lebih dan akan diperlakukan lebih baik.
ARTIKEL TENTANG KONFLIK (DISKRIMINASI)
Diskriminasi Berdasarkan Ras, Jenis Kelamin, Agama, Cacat Tubuh, Bahasa, atau Status Sosial
Undang-Undang Dasar tidak secara eksplisit melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, ras, cacat tubuh, bahasa atau status sosial. Tetapi UUD menyebutkan hak dan kewajiban yang sederajat bagi warga negara, baik pribumi maupun keturunan. GBHN 1993 secara tegas menyatakan bahwa wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria. Tapi GBHN 1978, 1983, 1988 dan 1993 juga menyatakan bahwa peran serta wanita dalam proses pembangunan tidak boleh bertentangan dengan peran mereka untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan pendidikan anak-anak. Undang-udang perkawinan menyatakan bahwa pria adalah kepala keluarga. UUD memberi warga hak untuk menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing tapi pemerintah hanya mengakui lima agama dan menerapkan pembatasan pada kegiatan agama lain.
Wanita
Kekerasan terhadap wanita tetap tidak tercatat dengan baik. Namun pemerintah mengakui adanya masalah keluarga di masyarakat yang makin gawat karena perubahan sosial akibat urbanisasi yang cepat. Perkosaan oleh suami atas istri tidak dianggap sebagai kejahatan menurut undang-undang. Meskipun kelompok-kelompok wanita berusaha mengubah undang-undang itu, mereka belum memperoleh kemajuan berarti.
Norma-norma budaya menetapkan bahwa masalah antara suami dan istri adalah urusan pribadi, dan kekerasan di rumah terhadap wanita jarang dilaporkan. Meskipun polisi dapat menuntut suami karena memukuli istrinya, sikap masyarakat pada umumnya membuat polisi cenderung tidak melakukan hal itu. Akan tetapi, menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, polisi sudah menjadi agak lebih responsif terhadap keluhan kekerasan di dalam rumah tangga.
Perkosaan adalah tindak pidana. Banyak pria yang sudah ditangkap dan dihukum karena memperkosa dan mencoba memperkosa meskipun data yang dapat dipercaya tidak tersedia. Hukuman penjara maksimum untuk perkosaan adalah 12 tahun, tapi para pengamat mengatakan bahwa hukuman itu biasanya jauh lebih ringan. Kekerasan massa terhadap tersangka pemerkosa sering dilaporkan. Aktivis hak wanita percaya bahwa banyak perkosaan tidak dilaporkan karena adanya aib sosial yang terkait dengan si korban. Beberapa ahli hukum melaporkan bahwa jika seorang wanita tidak segera pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan fisik guna mendapatkan bukti perkosaan, maka ia tidak dapat mengajukan tuntutan. Seorang saksi juga diperlukan untuk mengajukan tuntutan, dan hanya dalam kasus yang jarang saja saksi tersedia, demikian menurut para ahli hukum. Beberapa wanita kabarnya gagal melaporkan perkosaan kepada polisi karena polisi tidak menganggap serius tuduhan mereka.
Para pembela wanita yakin bahwa kekerasan dalam rumah tangga meningkat selama 1998 sebagai akibat dari krisis ekonomi. Seperti halnya perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga diyakini sangat jarang dilaporkan dengan serius. Pada bulan Desember, sebuah LSM hak-hak wanita memperkirakan bahwa hanya 15 persen peristiwa kekerasan rumah tangga yang dilaporkan. Pemerintah menyediakan bimbingan konsultasi kepada wanita korban aniaya, dan beberapa organisasi swasta muncul untuk membantu wanita. Banyak dari organisasi ini memusatkan perhatian pada upaya mengutuhkan keluarga ketimbang menyediakan perlindungan bagi wanita yang terlibat. Banyak wanita mengandalkan sistem keluarga besar untuk mendapatkan bantuan dalam kasus kekerasan rumah tangga. Pada bulan Juni pemerintah, melalui konsultasi dengan LSM-LSM wanita, membentuk Komisi Nasional Menentang Kekerasan Terhadap Wanita. Tujuan komisi itu ialah meningkatkan dan mengkoordinasikan upaya-upaya pemerintah dan LSM untuk memerangi kekerasan terhadap wanita dan menyediakan bantuan kepada korban. Hanya ada beberapa pusat krisis wanita termasuk sebuah rumah singgah yang didirikan di Jakarta oleh organisasi bentukan pemerintah, KOWANI, pada 1996 dan sebuah pusat krisis untuk wanita di Yogyakarta yang dikelola oleh sebuah LSM. Sebuah pusat krisis baru untuk wanita, Mitra Perempuan, yang dibuka pada 1997, mengoperasikan hubungan telepon langsung 24 jam sehari dan sebuah tempat perlindungan sementara bagi wanita korban penganiayaan. Pelatihan bagi para pembimbing untuk sebuah pusat krisis lain di Jakarta, bernama Bicaralah, sedang dilaksanakan.
Tuduhan-tuduhan serius muncul pada pertengahan tahun bahwa 168 wanita dan gadis keturunan Cina menjadi sasaran perkosaan dan pelecehan seksual secara sistematis selama kerusuhan sosial pada 12 -14 Mei. Tuduhan itu diperkuat oleh Komnas HAM, badan yang pembentukannya disponsori pemerintah, mengeluarkan laporan awal pada bulan Juli yang menuduh bahwa perkosaan terhadap wanita dan gadis Cina tersebut dilakukan secara teroganisasi dan terkoordinasi selama kerusuhan tiga hari di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Tuduhan itu mendapat tentangan dari para pejabat polisi dan militer. Pada bulan November tim gabungan pencari fakta bentukan pemerintah, yang terdiri dari para pejabat dan wakil-wakil LSM, mengeluarkan laporannya, membuktikan 85 laporan kekerasan terhadap wanita selama kerusuhan, termasuk 66 perkosaan. Tim tersebut menyatakan bahwa jumlah kejadian itu kemungkinan lebih tinggi tapi intimidasi terhadap saksi dan korban, serta keengganan korban untuk melaporkan serangan terhadap mereka, telah menghalangi tim tersebut untuk mendokumentasikan lebih banyak kasus kekerasan.
Pelecehan seksual menurut undang-undang bukanlah kejahatan, hanya merupakan tindakan tidak pantas. Namun tuntutan pelecehan seksual dapat merusak karir seorang pegawai negeri. Undang-undang yang berlaku kabarnya hanya menyangkut penganiayaan fisisk saja dan memerlukan dua orang saksi. Para wanita pekerja dan pencari kerja mengeluh sering diganggu oleh mandor dan pemilik pabrik.
Ada laporan-laporan yang dapat dipercaya mengenai perdagangan wanita dan "kawin kontrak" sementara dengan orang asing di beberapa daerah tertentu, seperti Kalimantan dan Sumatra, meskipun luasnya praktek demikian tidak jelas. Perkawinan demikian tidak dianggap sah, dan anak-anak yang dilahirkan dari mereka dianggap lahir di luar nikah. Pelacuran merajalela. Data resmi tahun 1994 melaporkan ada 70.684 pelacur di Indonesia, 9.000 di antaranya ada di Jakarta. Sebuah LSM setempat memperkirakan bahwa paling sedikit ada 650.000 pelacur di seluruh negeri, termasuk 150.000 yang terdaftar sebagai pelacur. Banyak yang percaya angka sebenarnya lebih tinggi dari itu karena para wanita yang kehilangan pekerjaan sebagai akibat dari krisis ekonomi mencari-cari cara lain untuk mendapatkan uang bagi keluarga mereka. Sebagai perbandingan, jumlah pelacur yang terdaftar pada 1995 adalah 72.000.
Pada bulan September, lebih dari seratus wanita dari Jawa, termasuk remaja putri, melaporkan bahwa mereka dan wanita-wanita lain dikurung di luar kehendak mereka di sebuah pulau di provinsi Riau, Sumatra, dan dipaksa bekerja sebagai pelacur. Para wanita itu menyatakan bahwa mereka direkrut dengan janji akan dipekerjakan sebagai pramusaji di tempat-tempat hiburan di pulau itu. Mereka dihalangi kepulang setelah mengetahui bahwa mereka direkrut untuk menjadi penjaja seks. Laporan Organisasi Buruh Internasional mengenai industri seks di Asia Tenggara yang dikeluarkan pada bulan Agustus memperkirakan bahwa sektor seks di Indonesia menyumbang antara 0,8 dan 2,4 pesen pada GDP.
Pembantu rumah tangga wanita sangat rentan terhadap kekerasan dan pelecehan. Pada bulan April polisi Jakarta menggerebeg sebuah bangunan di mana lebih dari 900 wanita dikurung di luar kehendak mereka selama 4 bulan oleh sebuah agen pengerah tenaga kerja yang akan mengirim mereka ke Timur Tengah sebagai pembantu rumah tangga. Lalu pada bulan September, ratusan wanita dibebaskan di Jakarta setelah dikurung di luar kehendak mereka selama dua sampai delapan bulan oleh sebuah agen yang berjanji akan menempatkan mereka di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga.
Menurut UUD, wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria, namun dalam prakteknya wanita menghadapi sejumlah diskriminasi hukum. Undang-undang perkawinan menyatakan bahwa pria adalah kepala keluarga. Undang-undang perkawinan bagi Muslim, berdasarkan pada syariat Islam, mengizinkan pria beristri empat jika sang suami bisa berlaku adil kepada masing-masing isterinya. Dibutuhkan izin dari isteri pertama, tapi dilaporkan bahwa umumnya wanita tidak sanggup menolak. Pegawai negeri dan anggota ABRI yang ingin mempunyai istri lagi harus mendapat persetujuan dari atasan mereka. Anggota kabinet dan anggota militer dilarang mempunyai isteri kedua. Dalam kasus perceraian wanita sering menanggung beban pembuktian yang lebih berat daripada pria, terutama dalam pengadilan agama Islam. Tunjangan cerai jarang diterima oleh wanita, dan tidak ada pelaksana pemaksaan pembayaran tunjangan ini.
Undang-Undang Kewarganegaraan 1958 menyatakan bahwa kewarganegaraan seorang anak didasarkan hanya pada kewarganegaraan ayahnya. Anak-anak dari ibu warga negara Indonesia dan ayah berkewarganegaraan asing diangap sebagai orang asing, dan memerlukan visa untuk tinggal di Indonesia sampai umur 18 tahun saat mereka boleh mengajukan permohonan kewarganegaraan. Mereka dilarang bersekolah di sekolah Indonesia, dan harus belajar di sekolah internasional yang mahal.
Wanita asing yang menikah dengan pria Indonesia juga menghadapi kesulitan. Anak-anak mereka adalah warga negara Indonesia dan dengan demikian tidak boleh bersekolah di sekolah internasional di Indonesia. Wanita demikian biasanya dipajaki sebagai kepala rumah tangga tapi tidak mempunyai hak atas harta benda, usaha dan warisan. Sudah banyak dilakukan pembahasan mengenai masalah Undang-Undang Kewarganegaraan ini. LSM dan pemerintah tampaknya sepakat bahwa undang-undang ini perlu direvisi. Namun sampai akhir tahun pemerintah masih belum melakukan tindakan apa-apa untuk mengatasi masalah ini.
Meskipun sebagian wanita menikmati tingkat kebebasan ekonomi dan sosial yang tinggi, serta menduduki posisi di sektor publik maupun swasta, mayoritas wanita tidak menikmati kebebasan sosial dan ekonomi seperti itu serta terwakili secara tidak proporsional (terlalu banyak) di ujung bawah skala ekonomi. Profil nasional tentang posisi dan peran wanita tahun 1995 memperlihatkan bahwa 37,4 persen pegawai negeri adalah wanita tapi hanya 5,5 persen menduduki jabatan struktural.
Wanita pekerja di bidang manufaktur pada umumnya menerima upah lebih kecil daripada pria. Banyak wanita pekerja di pabrik-pabrik dipekerjakan sebagai tenaga harian, bukan sebagai pekerja tetap, dan perusahaan tidak diwajibkan menyediakan tunjangan, seperti cuti melahirkan, bagi pekerja harian. Para aktivis wanita melaporkan adanya kecenderungan yang meningkat di bidang manufaktur untuk menyewa wanita yang bekerja di rumah mereka sendiri dengan upah kurang dari UMR. Tingkat pengangguran di kalangan wanita sekitar 50 persen lebih tinggi daripada pria. Wanita sering tidak mendapat tunjangan dan gaji tambahan yang menjadi hak mereka jika mereka merupakan kepala rumah tangga, dan dalam beberapa kasus tidak menerima tunjangan bagi suami dan anak-anak mereka, seperti asuransi kesehatan dan pengurangan pajak penghasilan. Kesenjangan pendapatan antara pria dan wanita menurun secara berarti dengan meningkatnya pendidikan.
Meskipun undang-undang memberi wanita cuti melahirkan selama tiga bulan, pemerintah mengakui bahwa wanita hamil sering dipecat dan diganti ketika sedang cuti. Beberapa perusahaan mewajibkan wanita menandatangani perjanjian bahwa mereka tidak akan hamil. Undang-Undang Ketenagakerjaan mewajibkan pemberian dua hari cuti haid per bulan bagi wanita, meskipun cuti ini tidak diberikan pada semua kasus. Banyak kelompok mengritik Undang-Undang Ketenagakerjaan 1997 yang tidak menangani pelecehan seksual dan kekerasan terhadap wanita di tempat-tempat kerja di mana wanita sering mengalami gangguan, seperti bekerja di luar negeri dan sebagai pembantu rumah tangga. Pemerintah menunda pelaksanaan undang-undang ketenagakerjaan yang baru selama dua tahun agar ada waktu untuk perbaikan.
Dibandingkan dengan pria banyak wanita yang buta huruf, kurang sehat dan kurang gizi. Pemerintah berusaha mengurangi tingginya tingkat kematian ibu, yang 425 orang per 100.000 kelahiran hidup, demikian angka resmi, tapi sampai 650 menurut perkiraan sumber-sumber lain. Menurut data PBB, dua pertiga wanita Indonesia menderita kekurangan darah (anemia) dan 24 persen dari wanita dalam umur reproduksi menderita kekurangan tenaga yang kronis. Indikator pendidikan wanita telah membaik selama sepuluh tahun terakhir. Jumlah gadis yang lulus dari SMU berlipat tiga dari 1980 sampai1990.
Kelompok-kelompok pembela wanita menjadi lebih tegas selama 1998. Pada bulan Februari, tiga pembela wanita dari kelompok Suara Ibu Peduli ditahan setelah mereka memimpin protes atas kenaikan harga susu. Dalam sidang pengadilan yang diliput luas oleh media ketiganya dijatuhi hukuman karena menggelar pawai tanpa izin dan didenda. Berbagai konferensi dan demonstrasi yang berkaitan dengan masalah-masalah kewanitaan dilakukan sepanjang tahun itu. Kebanyakan disponsori oleh LSM, tapi sebagian diorganisasikan oleh lembaga-lembaga akademis dan departemen pemerintah. Pada bulan Desember Kongres Wanita Nasional pertama menghimpun lebih dari 500 wanita dari sejajaran luas lapisan ekonomi, sosial dan politik. Kongres tersebut ditutup dengan imbauan untuk memberi peran yang lebih luas bagi wanita di pemerintahan, dan diakhirinya dwifungsi ABRI dalam pertahanan dan politik, serta suatu referandum di Timor Timur tentang status wilayah itu di masa depan.
Anak-Anak
Pemerintah telah menyatakan komitmennya pada hak-hak dan kesejahteraan anak-anak tapi kelangkaan sumber daya menghalanginya menerjemahkan komitmen ini ke dalam praktek. Pemerintah hanya mengalokasikan 2,2 persen produk kotor nasional pada pendidikan. Pengeluaran untuk pendidikan turun dengan tajam dalam pengertian riil pada 1998 karena penciutan ekonomi. Sebuah undang-undang tahun 1979 tentang kesejahteraan anak-anak memerinci tanggung jawab negara dan orang-tua untuk mengasuh dan melindungi anak-anak. Namun ketentuan dalam undang-undang tentang perlindungan anak-anak ini masih belum berlaku; peraturan pelaksanaannya belum pernah diumumkansecara resmi. Pemerintah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pendidikan dasar dan pelayanan ibu dan anak.
Perawatan kesehatan yang murah tersedia, meskipun akses dan ketersediaannya ada kalanya jarang-jarang, terutama di daerah pedesaaan. Selain itu, pengeluaran pemerintah untuk kesehatan turun dalam pengertian riil karena penciutan ekonomi. Menurut data PBB, 34 persen anak-anak balita menderita kekurangan energi protein, dan 35 persen menderita kekurangan zat besi. Pada bulan Oktober, UNICEF memperingatkan tentang adanya "generasi yang hilang" di kalangan kaum muda Indonesia sebagai akibat dari krisis ekonomi yang berawal pada pertengahan 1997. UNICEF memperkirakan bahwa 50 persen anak berumur di bawah dua tahun kekurangan gizi, yang mengancam perkembangan fungsi otak. Para pejabat pemerintah di Jawa Tengah mencatat kenaikan tajam tingkat kematian anak-anak karena gizi yang buruk di kalangan para ibu. Penelitian oleh LSM di sebuah kabupaten di Jawa Tengah mencatat kenaikan jumlah anak-anak yang kekurangan berat badan dari delapan persen pada 1996 menjadi 14 persen pada 1998. Di Jakarta para pejabat kesehatan juga mencatat kenaikan tajam laporan tentang anak-anak yang kekurangan gizi.
Sebuah undang-undang tahun 1994 menaikkan masa wajib belajar dari enam tahun menjadi sembilan tahun, tapi undang-undang itu tidak dilaksanakan sepenuhnya karena langkanya fasilitas sekolah dan kurangnya sumber daya keuangan keluarga untuk mendukung anak-anak agar tetap bersekolah. Biaya resmi dan tidak resmi untuk pendidikan umum, termasuk untuk pendaftaran, buku, makan, transportasi, dan baju seragam menjadi sangat tinggi dan amat memberatkan bagi banyak keluarga. Meskipun pendidikan dasar pada intinya bersifat unversisal, UNICEF memperkirakan bahwa lebih dari satu juta anak-anak putus sekolah setiap tahun terutama karena tingginya biaya pendidikan dan perlunya anak-anak membantu menambah pendapatan keluarga. Sebuah LSM yang layak dipercaya memperkirakan bahwa jutaan anak-anak putus sekolah dasar pada 1998 karena keluarga mereka tidak lagi mampu menanggung biaya sekolah dan pengeluaran-pengeluaran terkait akibat krisis ekonomi.
Meskipun data belum tersedia, para pembela anak-anak dan analis perburuhan sependapat bahwa jumlah anak-anak yang bekerja meningkat banyak karena krisis ekonomi yang terus mempengaruhi negara ini. Menurut data pemerintah yang baru, delapan persen dari semua anak berumur antara 10 dan 14 tahun bekerja. Setengahnya bersekolah sambil bekerja, dan setengahnya bekerja penuh. Perkiraan tidak resmi mengenai jumlah anak yang bekerja lebih tinggi lagi. Sebuah LSM terkemuka memperkirakan bahwa lebih dari 10 persen anak-anak bekerja lebih dari empat jam sehari.
Menurut Departemen Sosial, 20.000 anak jalanan hidup di Jakarta pada 1997. Sejumlah LSM melaporkan bahwa jumlah anak-anak di Jakarta mungkin sudah bertambah dengan lebih dari 60 persen sebagai akibat dari krisis ekonomi. Jumlah anak-anak jalanan juga bertambah di kota-kota lain. Anak-anak jalanan menjadi penjual koran, tukang semir, tukang parkir, atau melakukan usaha lain untuk mendapatkan uang. Banyak anak-anak bekerja di lingkungan yang berbahaya seperti menjadi pemulung atau bekerja di jermal dan kapal nelayan. Menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, ribuan anak-anak yang bekerja dalam lingkungan berbahaya di jermal-jermal di lepas pantai Sumatra Utara (lihat Bagian 6.c.). Ribuan anak-anak bekerja di pabrik-pabrik dan ladang (lihat Bagian 6.d.).
Anak-anak jalanan dan buruh anak-anak di beberapa kota sudah mulai terorganisasi dan berminat melindungi hak-hak mereka. Setidaknya 30 LSM bekerja dengan anak-anak jalanan. LSM -LSM mengritik pemerintah karena tidak melakukan upaya yang cukup dan memadai untuk membantu anak-anak jalanan dan buruh anak-anak. Pemerintah bekerja sama dengan Program Pembangunan PBB, UNICEF, dan ILO, dan dengan LSM untuk menciptakan program-program bagi anak-anak jalanan dan buruh anak-anak. Sebuah proyek memasukkan banyak ide dari komunitas LSM, termasuk pembentukan "rumah terbuka" di daerah-daerah sasaran yang menyediakan latihan kejuruan dan pendidikan dasar bagi anak-anak jalanan. Prakarsa pembentukan rumah terbuka bagi anak-anak jalanan sudah dilakukan di tujuh provinsi.
Satu pendekatan lagi atas masalah anak-anak jalanan menggunakan Program Gerakan Disiplin Nasional dan Kota Bersih. Di bawah program ini, anak-anak jalanan benar-benar dibuang dari kota-kota dengan bus. Biasanya, mereka dibawa ke luar kota dan ditinggalkan di sana. Kadang-kadang mereka dibawa ke "rumah tahanan" di mana mereka pertama-tama diinterogasi lalu dilepas. LSM mengritik cara-cara ini sebagai tidak efektif dan tidak manusiawi.
Pelacuran anak-anak dan jenis pelecehan seksual lainnya juga terjadi, tapi data yang tegas masih langka. Meskipun ada undang-undang yang dirancang untuk melindungi anak-anak dari kegiatan tidak senonoh, pelacuran, dan inses, pemerintah belum melakukan upaya pelaksanaannya di bidang-bidang ini. Sebuah LSM yang dapat dipercaya menyatakan bahwa mereka melihat suatu pola meningkatnya pelacuran anak-anak sebagai akibat dari krisis ekonomi selama 1997 dan 1998. Meskipun angka nasional yang dapat diandalkan masih sulit didapat, temuan-temuan LSM menunjukkan adanya kecenderungan yang meningkat dalam pelacuran anak-anak dan eksploitasi seks. Sebuah LSM yang layak dipercaya melaporkan adanya keluarga-keluarga di daerah pedesaan Jawa dan Sumatra dipaksa oleh keadaan ekonomi untuk "menjual" anak-anak perempuan mereka kepada laki-laki setempat. Sebuah laporan lain yang menunjukkan meningkatnya pelacuran anak-anak mencatat 1.500 pelacur di bawah umur bekerja di satu provinsi saja di Sumatra.
Belum ada sistem peradilan pidana yang terpisah bagi anak-anak remaja. Polisi mengakui bahwa anak-anak remaja sering dipenjara bersama-sama narapidana dewasa. Pengadilan umum menangani kejahatan oleh anak-anak. Sebuah Undang-Undang Keadilan Anak-Anak Remaja disahkan oleh DPR pada Desember 1996 dan ditandatangani Presiden Soeharto pada 1997. Undang-undang ini membatasi umur anak-anak antara delapan dan 18 tahun dan membentuk sebuah sistem peradilan dan KUHP khusus bagi mereka.
Sunat bagi wanita, yang secara luas dikecam oleh para ahli kesehatan internasional karena merusak badan dan jiwa, dilakukan di beberapa bagian Indonesia. Metodenya bervariasi berdasarkan adat-istiadat suku, budaya dan agama masing-masing. Tapi praktek yang paling umum adalah sebuah upacara yang mencakup penusukan, penorehan atau penyentuhan pada kelentit (clitoris) bayi perempuan atau gadis kecil, sering dengan tujuan mengambil beberapa tetes darah. Kadang-kadang dipakai akar tanaman sebagai lambang dan si gadis tidak disentuh sama sekali. Sunat wanita yang lebih serius adalah pemotongan ujung kelentit. Praktek ini tampak berkurang, dan tidak ada kesepakatan mengenai luasnya praktek demikian. Kabarnya sunat demikian masih dipraktekkan di Madura, Sulawesi Selatan dan daerah-daerah lain. Karena sunat wanita tidak diatur, dan para pemimpin agama belum menentukan sikap, metode yang dipakai biasanya diserahkan kepada adat masing-masing. Sunat wanita biasanya dilakukan pada tahun pertama kelahiran, biasanya pada hari ke-40, meskipun di beberapa daerah ini bisa sampai umur 10 tahun. Ini bisa dilakukan di rumah sakit atau, di pedesaan terutama, oleh dukun setempat. Data tentang sunat wanita tidak tersedia.
Penyandang Cacat
Menurut perkiraan PBB, ada 10 juta penyandang cacat di Indonesia, sedangkan Departemen Sosial memperkirakan hanya tiga persen dari jumlah penduduk, atau 6.000.000 orang, adalah penyandang cacat. Tapi data yang tepat tidak ada. Keluarga sering menyembunyikan anggotanya yang cacat untuk menghindari aib masyarakat atau rasa malu. Penyandang cacat menghadapi banyak diskriminasi di tempat kerja, meskipun beberapa pabrik telah melakukan upaya khusus untuk mempekerjakan mereka. Beberapa provinsi telah mendirikan "pusat-pusat rehabilitasi" bagi penyandang cacat. Laporan-laporan mengatakan penyandang cacat biasanya diambil dari jalan-jalan oleh penguasa dan dibawa ke pusat-pusat seperti ini untuk latihan kerja. Banyak penyandang cacat hidup dari mengemis.
LSM merupakan penyedia utama pendidikan bagi kaum cacat. Ada 1.084 sekolah luar biasa bagi kaum cacat; 680 swasta dan 404 dikelola oleh pemerintah. Sebanyak 165 dari sekolah-sekolah pemerintah itu "diintegrasikan," artinya menyediakan pendidikan reguler dan khusus kepada siswa. Di Jakarta ada 98 sekolah bagi kaum cacat, dua di antaranya dikelola oleh pemerintah dan sisanya yang 96 dikelola swasta. Pemerintah juga mengelola tiga sekolah nasional bagi kaum tuna netra, tuna rungu dan tuna grahita. Sekolah-sekolah ini menerima siswa dari seluruh negeri.
Sebuah undang-undang bagi penyandang cacat disahkan pada 1997. Peraturan pelaksanaannya belum ada; maka dampak undang-undang itu masih belum jelas. Undang-undang tersebut berusaha menyediakan akses ke pendidikan, pekerjaan dan bantuan bagi penyandang cacat. Undang-undang itu mewajibkan perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 100 orang untuk menyisihkan satu persennya bagi penyandang cacat. Undang-undang itu juga mengamanatkan kemudahan bagi kaum cacat ke fasilitas-fasilitas umum. Namun boleh di kata tidak ada gedung atau angkutan umum yang dirancang untuk memberi kemudahan semacam itu.
Undang-Undang Dasar mewajibkan pemerintah untuk menyediakan pemeliharaan bagi yatim piatu dan penyandang cacat, tapi tidak merinci definisi bagaimana "pemeliharaan" itu harus dilaksanakan, dan ketentuan mengenai pendidikan bagi semua anak cacat mental dan fisik belum ditetapkan. Peraturan menyebutkan bahwa pemerintah harus menetapkan dan mengatur kurikulum bagi pendidikan khusus dengan menetapkan bahwa "masyarakat" harus menyediakan pelayanan pendidikan khusus bagi anak-anaknya.
Penduduk Asli
Pemerintah menganggap bahwa istilah "penduduk asli" tidak cocok karena semua orang Indonesia kecuali keturunan Cina dianggap sebagai penduduk asli. Akan tetapi pemerintah secara terbuka mengakui adanya beberapa "suku terasing" dan bahwa mereka mempunyai hak untuk berperan serta penuh dalam kehidupan politik dan sosial. Pemerintah memperkirakan bahwa jumlah warga suku terasing sebesar 1,5 juta orang. Ini termasuk, tapi tidak terbatas pada, suku-suku Dayak di Kalimantan yang tinggal di tempat-tempat terpencil, masyarakat-masyarakat penduduk asli di Irian Jaya, dan keluarga-keluarga Orang Laut yang kurang beruntung ekonominya yang hidup di atas perahu mereka di perairan dekat Riau dan dekat Ujung Pandang. Para pengritik mengatakan bahwa pendekatan pemerintah pada dasarnya paternalistik dan lebih dirancang untuk mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat bukannya melindungi tradisi kehidupan mereka. Para pemantau hak asasi mengritik program transmigrasi pemerintah karena dianggap melanggar hak-hak penduduk asli (lihat Bagian 1.f.)
Enam puluh persen dari 200 juta penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa, yang luasnya hanya tujuh persen dari wilayah Indonesia. Program transmigrasi yang disponsori pemerintah berusaha memukimkan kembali penduduk dari daerah padat ke daerah yang jarang penduduknya di luar Jawa. Sebagian besar dari mereka adalah transmigran spontan yang bukan bagian dari program resmi. Rencana Pembangunan Lima Tahun yang sekarang berusaha memukimkan kembali 600.000 jiwa, dengan 80.000 direncanakan untuk tahun fiskal 1997-98.
Para pengecam program transmigrasi mengatakan bahwa program itu mengancam budaya penduduk asli dan menyulut kecemburuan sosial. Beberapa pengritik menyatakan bahwa program itu sudah dipakai sebagai alat politik untuk memasukkan penduduk luar ke dalam daerah-daerah tertentu untuk "mengindonesiakan" wilayah-wilayah tersebut, sebagian untuk menghalangi gerakan pemisahan diri. Seorang pejabat tinggi pemerintah mengakui hal ini. Di beberapa daerah, seperti di bagian tertentu Kalimantan, Timor Timur dan Irian Jaya, hubungan antara transmigran dan penduduk asli kurang baik. Berbagai LSM juga melaporkan ketegangan antara transmigran dari Jawa dan penduduk asli Kepulauan Mentawai di lepas pantai barat Sumatra. Penduduk asli sering mengeluh bahwa mereka menerima dukungan dan dana pemerintah yang lebih sedikit dibanding transmigran, dan transmigran juga mengeluh bahwa dalam beberapa kasus mereka dibawa ke tempat-tempat yang kekurangan prasarana untuk mendukung mereka dan ke tanah yang kurang dikehendaki. Transmigran juga kadang-kadang dimukimkan di atas tanah sengketa.
Ketegangan terutama akut di Kalimantan Barat antara penduduk asli Dayak dan pendatang dari Madura, sebuah pulau di lepas pantai timur Jawa. Selama 30 tahun terakhir telah terjadi bentrokan periodis antara kedua masyarakat itu, timbul terutama karena anggapan orang Dayak bahwa mereka dipinggirkan dari tanah leluhur mereka. Masyarakat Madura di Kalimantan Barat tumbuh dari transmigran inti, meskipun mayoritas orang Madura di kawasan itu adalah transmigran spontan.
Tekanan pemerintah pada pertumbuhan yang relatif cepat dan strategi pembangunan, ledakan urbanisasi, dan eksploitasi sumber daya alam komersial dengan dukungan pemerintah mengakibatkan timbulnya ketegangan yang berlanjut atas masalah pemilikan tanah. Ketegangan itu sering dinyatakan berdasarkan garis ras/etnik karena para pengembang biasanya keturunan Cina. Sengketa tanah merupakan jenis keluhan terbesar yang disampaikan kepada Komnas HAM dan merupakan suatu porsi besar kasus yang dibawa ke yayasan-yayasan bantuan hukum dan organisasi bantuan hukum lainnya.
Menurut sebuah undang-undang warisan kebiasaan di zaman penjajahan Belanda, semua sumber daya mineral di bawah permukaan tanah dimiliki pemerintah. Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa hak atas tanah tidak boleh "bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara," sehingga pemerintah mempunyai landasan hukum yang luas untuk menyita tanah. Jika sengketa tidak dapat diselesaikan, pemerintah mempunyai wewenang untuk menentukan ganti rugi yang adil atas tanah. Ada berbagai contoh penggunaan intimidasi, kadang-kadang oleh tentara, dan sering oleh para"preman" sewaan, untuk mendapatkan tanah bagi proyek pembangunan, terutama di daerah-daerah yang diklaim oleh penduduk asli.
Intimidasi demikian sudah dilakukan di Jakarta, bagian-bagian lain Jawa, Sumatra Utara, Aceh, dan daerah-daerah lain. Ganti rugi yang dibayarkan untuk tanah sering kecil sekali atau bahkan tidak ada. Menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya di Sumatra Barat, petak-petak tanah luas di provinsi itu diambilalih selama beberapa tahun terakhir oleh pengembang-pengembang perkebunan komersial yang menyuap gubernur setempat. Dalam beberapa kasus, LSM melaporkan, para petani padi dan tanaman lain digusur dari tanah yang mereka tanami tanpa ganti rugi untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit yang digarap para transmigran dari Jawa. Sebuah LSM setempat menuduh bahwa ketika stafnya melakukan kunjungan ke daerah itu pada pertengahan tahun untuk menyelidiki klaim sengketa tanah yang diajukan penduduk setempat mereka diintimidasi oleh para preman sewaan pejabat setempat.
LSM-LSM menegaskan bahwa pelanggaran hak-hak penduduk asli sering terjadi di daerah pertambangan dan pengusahaan hutan dan menyatakan bahwa pelanggaran timbul karena pengingkaran negara terhadap pemilikan oleh penduduk asli atas tanah leluhur mereka, erosi struktur kemasyaraktan tradisional kelompok penduduk asli, dan pengambilalihan paksa tanah mereka. Masalah demikian sangat umum di Irian Jaya dan Kalimantan.
Pada 1998 seorang pelestari lingkungan yang diakui dunia internasional, Loir Botor Dingit, yang juga pemimpin terkemuka suku Dayak di Kalimantan Timur, diajukan ke pengadilan; pemerintah menuduhnya melakukan pemalsuan dan sumpah palsu. Tuduhan itu bermula dari perlawanan suku itu terhadap penebangan hutan yang dilakukan di atas tanah yang mereka klaim. Penebangan itu dilakukan oleh sebuah perusahaan milik seorang mantan menteri dan orang dekat Soeharto. Terdakwa menuduh bahwa ia berkali-kali diancam dan diperlakukan buruk oleh aparat keamanan karena menentang penebangan hutan (lihat bagian 1.e.). Tuduhan terhadap Dingit dicabut pada bulan November.
Di Kalimantan bagian tengah, LSM-LSM melaporkan bahwa penduduk setempat menderita karena adanya proyek lahan gambut satu juta hektar untuk dijadikan sawah. Lokasi itu dirancang sebagai daerah transmigrasi besar. Menurut sebuah sumber yang layak dipercaya, 100.000 penduduk asli terkena dampak proyek itu. Dipaksa meninggalkan pertanian tradisional dan hutan sumber kehidupan mereka, banyak penduduk asli yang tinggal di daerah itu akhirnya menjadi buruh proyek tersebut dengan upah rendah.
Ada berbagai laporan yang dapat dipercaya bahwa buruh terikat menjadi suatu masalah bagi sejumlah orang Dayak di Kalimantan Timur. Menurut ILO, pada paling tidak satu proyek, sebuah perusahaan HPH mendirikan sebuah toko di tempat terpencil di mana para pekerja harus membeli keperluan mereka dengan harga berlipat-lipat. Karena para pekerja tidak mampu, mereka membeli barang-barang itu dengan kupon (voucher) yang akan dibayar dengan potongan pada gaji mereka, sehingga, menurut ILO, "mengubah petani yang dulunya bebas dan relatif kaya menjadi buruh terikat yang jatuh miskin dan terperangkap dalam lingkaran utang berkepanjangan".
Di mana penduduk asli bersengketa dengan proyek pembangunan komersial/swasta, pengembang hampir selalu menang. Keputusan mengenai proyek pembangunan, konsesi penggunaan sumber daya, dan kegiatan ekonomi lain, pada umumnya dilakukan tanpa keikutsertaan atau persetujuan bijaksana dari masyarakat yang terkena. Beberapa LSM yang mencoba membantu masyarakat demikian sering dimaki-maki, diserang, dan bentuk-bentuk lain intimidasi oleh aparat keamanan pemerintah.
Ketegangan dengan penduduk asli di Irian Jaya berlanjut. Penduduk asli Irian Jaya mengeluhkan rasialisme, prasangka agama, paternalisme, dan sikap merendahkan sebagai kendala terus-menerus bagi hubungan yang lebih baik dengan penduduk non-Irian, termasuk pegawai pemerintah, militer, dan masyarakat bisnis non-Irian. Satu persentase besar penduduk Irian Jaya sekarang adalah migran, yang secara ekonomi dan politik mendominasi. Suatu bentrok dengan penduduk asli dan para migran baru mengenai tuntutan atas tambang emas di daerah Nabire menyebabkan tiga orang Irian dan sembilan non-Irian tewas tertikam pada bulan Agustus. Sebagian besar pegawai negeri di pemerintah daerah Irian Jaya dan tempat-tempat terpencil lain terus berasal terutama dari bagian-bagian lain Indonesia, bukannya dari penduduk asli setempat. Ada berbagai laporan yang dapat dipercaya tentang pelanggaran berat atas hak asasi oleh pasukan keamanan di Biak menyusul demonstrasi prokemerdekaan, serta sejumlah pengungkapan baru kekerasan oleh aparat keamanan yang mengejar kaum separatis di dataran tinggi Irian Jaya bagian tengah (lihat Bagian 1.a. dan 1.c.). Sebuah demonstrasi prokemerdekaan terjadi di Manokwari pada awal Oktober. Ketika polisi membubarkan demonstrasi itu, para demonstran melempari mereka dengan batu, melukai seorang polisi dan merusak toko-toko dan rumah. Enam orang, termasuk seorang kepala suku, ditahan di Jayapura pada awal Oktober karena dicurigai merencanakan demonstrasi prokemerdekaan. Mereka kemudian dibebaskan bersyarat bulan itu. Juga pada bulan Oktober, 19 orang diajukan ke pengadilan atas tuduhan menghasut dalam kaitannya dengan demonstrasi prokemerdekaan di Biak. Pada akhir tahun, pengadilan atas 10 orang yang dituduh terkait dengan demonstrasi prokemerdekaan pada 7 Juli di Wamena belum dimulai. Dua puluh empat orang lainnya menunggu pengadilan di berbagai tempat di Irian Jaya atas tuduhan serupa. Belum ada anggota pasukan keamanan yang dituduh atau dimintai tanggung jawab atas reaksi keras mereka terhadap demonstrasi bulan Juli.
Pada bulan Agustus pemerintah mengumumkan penarikan 270 orang tentara dari daerah Timika dan 394 tentara dari satuan tugas yang beroperasi di dataran tinggi tengah. Pada 1 Oktober, Pangab Wiranto mengumumkan bahwa ia sudah memutuskan untuk mencabut status Daerah Operasi Militer dari Irian Jaya. Namun daerah itu masih diacu sebagai "daerah genting dalam pengawasan."
Pada bulan September Presiden Habibie menyetujui rekomendasi dari Dewan Gereja Indonesia agar pemerintah mengadakan dialog nasional tentang Irian Jaya. Para wakil dari Irian Jaya dan masyarakat Irian Jaya di Jakarta bertemu dengan pejabat pemerintah pada akhir Oktober dan awal November untuk menyusun pokok-pokok bahasan (terms of reference) bagi dialog itu. Pada akhir tahun tanggal dialog belum ditetapkan, tapi Menteri Sekretaris Negara Akbar Tanjung kepada pers mengatakan pada pertengahan Desember bahwa pemerintah berencana mengadakan dialog itu setelah Idul Fitri pada Januari 1999. Beberapa orang Irian menyatakan kekecewaan mereka atas pendekatan pemerintah terhadap persiapan itu.
Sebuah konsesi pertambangan besar asing di daerah Timika terus menarik perhatian dan kontroversi. Pada bulan Maret sebuah pengadilan asing menolak disertai dengan prasangka sebuah tuntutan yang diajukan pada 1996 oleh seorang kepala suku penduduk asli. Pada bulan Desember sebuah dewan perwakilan penduduk asli mengumumkan bahwa mereka akan terus mendesakkan tuntutan hukum melawan perusahaan itu "sampai tiba saatnya sebuah penyelesaian yang menyeluruh, jujur, dan adil tercapai antara pihak-pihak bersangkutan, atas kedudukan yang sama." Pada bulan Juni suatu tanah longsor ke dalam sebuah danau yang menjadi tempat pembuangan "tailing" pertambangan menyebabkan meluapnya air danau tersebut serta merusak pemukiman dan tanaman. Sebuah kelompok lingkungan mengecam praktek pertambangan perusahaan itu, sedangkan perusahaan tersebut menyebut hujan lebat berlebihan sebagai penyebab tanah longsor dan banjir tersebut. Para penduduk asli, termasuk gubernur Irian Jaya, meminta pemerintah mengembalikan dengan persentase yang lebih besar pendapatan dari usaha pertambangan itu ke provinsi tersebut. Pertambangan itu ditutup selama lima hari ketika para pekerjanya melakukan mogok pada Agutsus. Pemogokan berakhir setelah para komandan militer dan polisi setempat mengadakan pertemuan dengan pekerja dan pejabat perusahaan itu. Sebuah komisi DPR yang mengunjungi Irian Jaya pada bulan Agustus membenarkan bahwa kehadiran perusahaan tersebut harus dipertahankan dan dijaga, dan mereka menyarankan agar perusahaan itu berunding dengan para penduduk mengenai tuntutan agar perusahaan meningkatkan partisipasinya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Komisi itu juga merekomendasikan bahwa perjanjian-perjanjian hasil perundingan itu ditetapkan dalam sebuah kontrak agar menjadi landasan hukum dan bahwa dana perusahaan bagi pengembangan kawasan pertambangan itu disalurkan secara adil, transparan, dan terorganisasi.
Minoritas Agama
Selama tahun 1998, ada berbagai peristiwa penyerangan terhadap gereja, kuil, dan fasilitas-fasilitas agama lainnya, mulai dari perusakan kecil sampai pembakaran. Ada juga kejadian hujatan dan penerbitan melawan kaum Kristen, menyebabkan timbulnya keprihatinan bahwa dukungan masyarakat terhadap toleransi agama mendapat tekanan. Kelompok-kelompok Kristen mencatat 128 peristiwa serangan terhadap gereja dan fasilitas Kristen lainnya selama tahun itu, 76 di antaranya terjadi menyusul naiknya Habibie menjadi presiden pada bulan Mei. Serangan itu bervariasi derajatnya mulai dari pemecahan jendela sampai kehancuran total. Pemerintah belum menyelesaikan tuntas banyak dari kasus-kasus penyerangan terhadap fasilitas agama dan gereja yang terjadi selama kerusuhan dan, dalam kasus lain, belum melakukan penyelidikan sama sekali.
Pada 13 Februari, kekerasan serius anti Kristen dan antietnik Cina pecah di Jawa Barat. Dua puluh delapan gereja diserang di beberapa kota di timur dan tenggara Jakarta. Massa melempari jendela, merusak isi gereja, dan dalam beberapa kasus berusaha membakar gereja. Mobil dan harta benda lain milik gereja dan jemaat juga menjadi sasaran perusakan. Insiden seperti ini mencerminkan ketegangan agama, serta dalam beberapa kasus mendasari ketegangan sosial, ekonomi, dan politik antara kaum Muslim yang miskin dan kaum Cina Kristen yang relatif lebih makmur.
Pada 24 Juli, sebuah gereja Protestan dibakar di Depok, di sebelah selatan Jakarta. Jemaat gereja adalah dari etnik Batak dari Sumatra utara. Meskipun gereja itu terletak dekat dengan kantor polisi, massa sempat berjam-jam merobohkannya rata dengan tanah dengan kampak. Polisi belum mencapai kemajuan dalam menyelidiki insiden ini.
Pada akhir November, sebuah tawuran di Ketapang, Jakarta Barat, antara penduduk setempat yang Muslim dan para petugas keamanan sebuah tempat judi yang beragama Kristen, kebanyakan keturunan Ambon, meluas menjadi kerusuhan yang menelan 14 korban jiwa dan serangan terhadap 27 gereja dan sekolah Kristen, serta pembakaran beberapa gereja. Kekerasan anti-Kristen di Jakarta menyulut pembalasan kekerasan anti-Muslim di Kupang, NTT, pada akhir November dan awal Desember. Di Kupang (di mana Muslim merupakan minoritas), massa membakar empat masjid dan beberapa rumah serta toko milik kaum Muslim. Lima masjid lain dan sejumlah rumah dirusak dan beberapa puluh orang terluka. Dalam insiden di Jakarta maupun Kupang, ketegangan antaretnik, serta ketegangan antaragama, merupakan faktor bagi kekerasan itu.
Muslim merupakan penganut agama minoritas di Irian Jaya. Pada Januari sebuah masjid dibakar habis di sebuah desa kecil dekat Kurima di dataran tinggi tengah Irian Jaya. Serangan terhadap masjid itu tampaknya didorong oleh kekhawatiran penduduk setempat terhadap dakwah kaum Muslim untuk mendapatkan pengikut baru di provinsi yang mayoritas penduduknya Kristen itu. Insiden itu juga mencerminkan kebencian penduduk setempat terhadap kedatangan migran yang kebanyakan Muslim ke provinsi itu dari daerah lain Indonesia. Ketegangan antaragama tetap tinggi di provinsi itu.
Bangsa/Ras/Suku-Suku Minoritas
Pemerintah secara resmi mendorong toleransi ras dan suku. Etnik Cina, dengan jumlah sekitar tiga persen dari seluruh penduduk merupakan kelompok minoritas asing terbesar, secara historis memegang peranan besar dalam perekonomian. Pada 1998 rasa anti-Cina menyulut penyerangan serius dan meluas terhadap bisnis etnik Cina, terutama selama kerusuhan 12-14 Mei. Tuduhan-tuduhan yang muncul dan dapat dipercaya bahwa serangan terhadap harta benda milik etnik Cina selama kerusahan Mei itu dalam beberapa kasus diorganisasikan dan tidak terjadi secara spontan, dan bahwa serangan terhadap harta benda mereka dikoordinasaikan dari Jakarta dan kota-kota lain di seluruh penjuru negeri. Tuduhan bahwa anggota pasukan keamanan terlibat dalam serangan-serangan ini belum diselidiki dengan tuntas pada akhir tahun.
Baik pemerintah maupun LSM menyelidiki tuduhan bahwa selama kerusuhan Mei lebih dari 150 wanita dan gadis Cina menjadi sasaran perkosaan di Jakarta dan kota-kota lain, sebagai bagian dari gerakan untuk menyebar teror di kalangan masyarakat keturunan Cina (lihat Bagian 1.c.). Tuduhan perusakan terorganisasi atas harta benda etnik Cina dan perkosaan massal yang sistematis atas wanita Cina sangat kontroversial, dan baik penyelidikan resmi maupun oleh pihak swasta menemui kesulitan untuk menunjukkan bukti nyata, terutama kesaksian tangan pertama. Di tengahkesulitan-kesulitan ini, pada November tim pencari fakta yang dibentuk pemerintah membenarkan adanya 66 kasus perkosaan yang terjadi selama kerusuhan, terutama melibatkan wanita dan gadis keturunan Cina, serta sejumlah tindak kekerasan lain terhadap wanita.
Sejak 1959 WNA keturunan Cina dilarang melakukan usaha di pedesaan Indonesia. Peraturan melarang adanya sekolah Cina, pembentukan kelompok kebudayaan atau ikatan usaha khusus Cina, serta pajangan berhuruf Cina meskipun huruf Cina ada dalam produk yang dipajang. Pemerintah mengizinkan penerbitan sebuah koran harian berbahasa Cina milik pemerintah, namun undang-undang melarang impor, penjualan, atau distribusi bahan bacaan berbahasa Cina (lihat Bagian 1.f. dan 2.a.). Namun bahan-bahan berbahasa Cina sudah mulai tampak di daerah Pecinan Jakarta dan mungkin pula di kota-kota lain. Sejak 1994 pemerintah mengizinkan pengajaran Bahasa Cina bagi karyawan di sektor pariwisata, dan distribusi brosur-brosur, acara, dan bahan-bahan sejenis berbahasa Cina bagi wisatawan berbahasa Cina.
Pendidikan swasta dalam Bahasa Cina pada umumnya dilarang tapi ada dalam jumlah terbatas. Universitas Indonesia menawarkan Jurusan Bahasa Cina. Universitas-universitas negeri menetapkan pagu secara tidak resmi untuk penerimaan mahasiswa keturunan Cina. Undang-undang melarang perayaan Tahun Baru Cina di kelenteng atau tempat-tempat umum, tapi pelaksanaannya terbatas. Hiasan-hiasan menyambut Tahun Baru Cina dipajang dengan mencolok dan dijual di pusat-pusat perbelanjaan di setidaknya beberapa kota. Para pejabat senior masih enggan mengendorkan larangan penerbitan dalam Bahasa Cina, dengan menyatakan kekhawatiran bahwa hal demikian dapat mendorong ketegangan antarras.
Orang-orang Timor Timur dan kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh bahwa orang Timor Timur kurang terwakili dalam jajaran pegawai negeri di Timor Timur. Pemerintah sudah berusaha merekrut lebih banyak pegawai negeri di Timor Timur dan Irian Jaya, dan sudah ada peningkatan jumlah calon pegawai negeri di kedua provinsi itu, meskipun ada kebijakan "pertumbuhan nol" pada jumlah pegawai negeri secara keseluruhan. Orang Timor Timur menyatakan keprihatinan mereka bahwa program transmigrasi (lihat Bagian 1.f.) dapat menyebabkan menurunnya kesempatan kerja dan akhirnya bisa menghancurkan jatidiri budaya Timor Timur. Pemerintah menyatakan bahwa program transmigrasi di Timor Timur terutama dipusatkan pada pemukinman kembali orang Timor Timur, dengan disertai dengan datangnya orang non-Timor Timur yang umumnya beragama Kristen atau Hindu dalam jumlah yang lebih kecil. Dalam beberapa tahun terakhir migran tidak resmi yang kebanyakan Muslim ke provinsi itu menyulut ketegangan sosial ekonomi di daerah perkotaan, menimbulkan keprihatinan yang lebih besar daripada program transmigrasi resmi. Pada bulan Juli, sebagai reaksi terhadap desas-desus dan kemungkinan intimidasi, setidaknya beberapa ribu orang non-Timor Timur meniggalkan provinsi itu; tapi kebanyakan kemudian kembali lagi.