Konflik Budaya Tari Pendet Bali Indonesia vs Malaysia
Rabu, 23 Sep '09 15:07
Sebenarnya berita tentang konflik ini agak terlambat. Atau boleh dibilang terlambat sekali. Tapi, apa yang ingin penulis sampaikan di sini adalah sedikit pencerahan, bagi para pembaca yang mungkin sangat semangat untuk mempertahankan salah satu budaya bangsa kita ini. Di awal tulisan, penulis ingin memuji semangat perjuangan mempertahankan 'kemerdekaan' kita dari seluruh bangsa Indonesia. Begitu ada isu tersebut, serta merta kita langsung bergolak. Akan tetapi penulis juga ingin mengkritik beberapa tindakan dari kita khususnya, yang mungkin terlihat agak gegabah. Begitu isu itu muncul, langsung saja sebagian dari kita mencak-mencak, protes, ngamuk-ngamuk, berkata kasar, di mana-mana dan kapan saja. Tiap ketemu orang, perkataannya hanya soal emosi, tapi entah apakah dari kita sudah mengerti duduk perkara sesungguhnya.
Persoalan 'tanggapnya' hampir sebagian besar dari kita, juga pernah disinggung oleh cebong di postingan soal pulau jemur. Terlalu tanggap, hingga akhirnya 'marah-marah' gak karuan. Lebih lanjut soal cerita ini, bisa dibaca di blognya cebong ipiet.
Kembali ke persoalan tari pendet, dan isu-isu lain yang lebih luas, baik itu menyangkut Malaysia, ataupun isu-isu dalam negeri, ada baiknya kita tidak gegabah. Hal ini pun sudah
apabila kita mendapati sebuah isu atau berita, jangan dulu bertindak (gegabah), akan tetapi cari tahulah terlebih dahulu duduk perkara dan kebenaran beritanya (tabayyun). Karena itu pula, bahkan saya sendiri - hingga sebelum diposting tulisan ini - belum berani berbicara ataupun bertindak. Penulis lebih memilih untuk diam, dan menunggu penjelasan dan perkembangan isu ini. Hingga akhirnya kutemukan sebuah tanggapan dari seorang tokoh budaya dan sastra Malaysia, Ummuhani. Beliau menulis dalam blognya (ummuhani.com),
“Di Malaysia, media kita lebih memfokuskan isu-isu yang lebih besar berlaku sekarang ini misalnya H1N1 dan Bulan Ramadan mulia ini. Jadi, rata-rata masyarakat termasuk saya tidak tahu tentang ‘Tarian Pendet’. Kita mengakui banyak menerima pengaruh budaya terutama dari Indonesia kerana dalam banyak hal, Malaysia belajar dari Indonesia. Bahkan dalam kesusasteraan, kebudayaan dan kemasyarakatan pun, bukan hanya Indonesia, kita juga menerima pengaruh dari India, Arab, Cina dan tamadun lain. Kami rakyat Malaysia tidak pernah mengakui bahawa itu adalah asli Malaysia. Ianya gabungan pengaruh masyarakat yang datang ke sini.”
“Kenapa perlu marah-marah, bukankah rakyat Malaysia pada hari ini adalah celupan dan pendatang dari seluruh dunia termasuk Jawa, Sumatera, Aceh dan lain-lain. Mereka itu membesar dan beranak-pinak di sini. Dari situlah budaya keaslian mereka berkembang di Malaysia.”
“Kitakan serumpun dan senusantara? Kalau orang Melayu tidak memperkembangkan budaya Melayunya, apakah kita mengharapkan orang Eropah membanggakan khazanah kebudayaan Melayu? Lebih-lebih lagi di kala budaya asli kita sendiri makin terhakis dengan anai-anai globalisasi.”
“Eloklah kita mencari ruang untuk mempertautkan bukan mencari lubang untuk dijarakkan.”
Intinya, dari yang bisa saya tangkap adalah bahwa sesungguhnya bukan niat langsung pihak Malaysia untuk mengklaim budaya Indonesia, akan tetapi memang budaya Indonesia yang berusaha dilestarikan oleh anak cucu keturunan mereka yang tinggal di Malaysia. Dan lagi jelas, bahwa apa yang ditampilkan discovery channel tersebut adalah liputan sepihak.
Tak lupa, saya kutip juga komentar dari juru bicara Deplu Teuku Faizasyah dalam jumpa pers di Kantor Deplu, Jalan Pejambon, Jakarta Pusat, Jumat (21/8/2009), sebagaimana diberitakan okezone.com, "Kita harus lihat dahulu seperti apa, kalau hanya dijadikan background iklan, seharusnya kita tidak terprovokasi seperti melancarkan protes. Ini malah bisa jadi sarana promo kita," kata Faizasyah. "Kalau itu sudah jadi isu publik akan kita tindak lanjuti. Intinya belum ada klaim dari pihak Malaysia, hanya iklan," pungkas dia. Dia juga memberi contoh soal pemakaian Eropa sebagai background iklan Indonesia.
Lebih lanjut, masih di blog ummuhani.com juga, saya temukan tanggapan dari warga Indonesia yang beristrikan orang Malaysia, dan sekarang menetap di sana. Mas Fauzan - begitu dia menuliskan namanya di kolom komentar - bilang bahwa, salah satu akar mudahnya sebuah isu menjadi panas dan kacau, adalah karena kurangnya komunikasi antara kedua belah pihak. Baik itu dari sisi pemerintah, maupun dari elemen individu masyarakatnya. Pada hakikatnya, sebelum sebuah isu muncul telah timbul pra konsepsi masing-masing dari kita. Inilah, akar permasalahannya...
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh salah seorang pakar psikolog dari Amerika di kolom kompas, bahwa salah satu dari 3 hal yang sangat menentukan kualitas sebuah hubungan adalah komunikasi. Akhir kata, sudahkah kita mencoba membuka diri, dan memulai sebuah komunikasi dengan mereka? Bila dari pihak pemerintah masih sulit kita harapkan, mari kita awali dari dunia kita (politikana, maya, nyata, dll) dari sekarang..